Panduan Memilih Pemimpin dalam Pemilu 2024 ala Al-Farabi

Oleh: Muhammad Iqbal Kholidin (Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan UMY | Regional Vice Director ID Next Leader Yogyakarta)

Foto: postfactum.kz

Pemilu 2024 menjadi momen adanya pertaruhan mengenai kemana negara akan dikelola. Sudah banyak edukasi politik yang mengedepankan bagaimana pentingnya memakai hak pilih guna menentukan pemimpin yang akan memastikan keberlangsungan kemaslahatan umat dapat terpenuhi. Secara ideal, masyarakat didorong untuk memilih individu yang mampu memenuhi berbagai syarat kepemimpinan, terutama bagaimana seorang pemimpin mampu peduli terhadap kondisi masyarakat yang di pimpin olehnya.

Seolah etalase makanan, masyarakat disodori berbagai macam pilihan calon pemimpin. Sebut saja dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden, masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih berbagai tipe: mulai dari individu yang terlihat bersahaja, sampai memiliki rekam jejak yang dikatakan buruk. Namun atas nama kesetaraan dan hak memilih serta dipilih, demokrasi memberikan konsekuensi bahwa si individu paling buruk pun masih memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin.

Demokrasi sebagai sistem politik yang dijalankan di Indonesia, telah menghadirkan ragam konsekuensi semenjak dari awal pengaplikasiannya. Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin yang otoriter, yang cerdas, hingga yang mudah disetir oleh berbagai kepentingan oligarki. Namun, seolah semua mahfum, kebebasan memilih dan dipilih memberikan legitimasi bagi siapapun untuk menduduki kursi kekuasaan.

Berbagai teori kepemimpinan, politik, dan kenegaraan, berusaha menjabarkan konteks prasyarat ideal bagi seorang pemimpin dapat dikatakan layak untuk memimpin. Salah satunya adalah tokoh filsuf islam yang memiliki sebutan sebagai “Guru Kedua” dalam perkembangan filsafat islam, yaitu Al-Farabi.

Lewat berbagai karyanya seperti As-Siyasah al-Madaniyah dan Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Al-Farabi merumuskan sebuah konsep untuk menata kehidupan masyarakat dalam bernegara, lewat pandangan mengenai negara utama (al-madinah al-fadhilah). Dalam konsep inilah peran penting seorang pemimpin dideskripsikan secara apik olehnya.

Al-Farabi dan Konsep Negara Utama

Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkas bin Auzalagh yang lahir di Kota Farab pada 870 Masehi atau dikenal sebagai Al-Farabi merupakan seorang tokoh filsuf muslim yang dikenal sebagai seorang pakar dalam multi-disiplin ilmu, salah satunya ialah ilmu politik. Al-Farabi dalam pandangannya turut banyak dipengaruhi ragam pemikiran filsuf Yunani Kuno semacam Plato atau Aristoteles.

Jika Plato memberikan gambaran mengenai negara utopia, maka Al-Farabi memberikan pandangan mengenai konsep Negara Utama atau al-madinah al-fadhilah. Al-Farabi memberikan pandangan bahwa tatanan masyarakat memiliki tujuan untuk menghasilkan kebahagiaan bagi setiap warga, baik secara kebahagiaan di dunia maupun di akhirat dengan memastikan kemaslahatan umat dapat terjamin adanya.

Negara utama bisa terjamin kehadirannya ketika setiap elemen masyarakat dapat hidup rukun, saling bahu-membahu dan bergotong royong dalam urusan kebajikan dan mencegah kemunkaran. Al-Farabi mengibaratkan Negara Utama ialah sebuah keutuhan dari suatu tubuh, yang mana ketika ada kerusakan atau luka yang terjadi, maka setiap elemennya akan merasakan sakit di keseluruhan bagian, mulai dari pucuk pemerintahan hingga rakyat jelata.

Adapun agama merupakan peran penting yang hadir dalam konsep negara utama, dimana agama menjadi instrumen yang diaplikasikan lewat pengamalan nilai-nilai agama, seperti keadilan, keamanan, ketertiban, dan kehidupan kewarganegaraan lewat otoritas negara dan pemerintah. Dalam hal ini, agama mengatur secara nilai bagaimana urusan nasional, politik dan hal hidup manusiawi lain dapat dijalankan secara paripurna.

Peran masyarakat yang bisa berbagi peran antar satu dan lainnya perlu dilandasi oleh keinginan yang kuat serta gigih. Hal ini perlu dipastikan secara matang agar dapat terciptanya masyarakat yang sehat. Tentu akan menjadi sulit untuk mempertahankan kebahagiaan warga bila hidup dalam situasi masyarakat yang sakit, ialah masyarakat yang korup serta tidak mampu mentaati peraturan sebagai konsensus yang sebelumnya sudah disepakati secara kolektif.

Oleh karenanya, keberlangsungan negara utama dengan substansi masyarakat yang sehat serta memiliki nilai-nilai kebaikan perlu dipastikan oleh seorang pemimpin yang memiliki kualitas yang mumpuni. Sebab pemimpin ini perlu untuk memastikan bagaimana kemaslahatan warga bisa terjamin, sembari memenuhi salah satu indikator negara utama, yaitu distribution of power guna menghadirkan peran tiap elemen warga berjalan secara maksimal.

Indikator Pemimpin Ideal ala Al-Farabi

Dalam konsep negara utama Al-Farabi, seorang pemimpin memang terlihat memiliki banyak pekerjaan yang harus ditangani. Secara umum ialah memastikan bagaimana negara berjalan sembari kemaslahatan warga negara terjamin.

Pada dasarnya, pemimpin bertugas untuk membimbing serta mengarahkan masyarakat yang dipimpin olehnya. Bagi Al-Farabi, kekuatan utama dari seorang pemimpin ialah kemampuan dalam berpikir dengan memanfaatkan potensi, kreasi, serta keinginan untuk bertanggung jawab dalam pemerintahannya. Pada tahap berpikir ini, pemimpin dituntut untuk mampu memiliki hubungan dengan al-aql al-fa’al  atau akal mustafad sebagai pandangan transenden.

Al-Farabi memandang bahwa ada tiga golongan yang layak untuk mengemban porsi kepemimpinan negara dari segi kapasitas, yaitu:

  1. Individu yang memiliki kapasitas yang membimbing dan memberi nasehat, menjadi wajib menduduki jabatan seorang pemimpin utama karena secara natural memiliki kemampuan memimpin, serta menjadi tauladan bagi masyarakat yang ada di bawah kepemimpinanya.
  2. Individu yang memiliki peran sebagai penguasa subordinat, mereka memiliki pemahaman atas ilmu-ilmu teoritis yang spesifik, serta memiliki keyakinan terhadap kebenaran dari apa yang di ajarkanya (pemimpin di atasnya) dan mengajarkan kepada orang lain.
  3. Manusia yang dikuasai sepenuhnya atau tampa kualifikasi, mereka yang memilki kemampuan teoritis dan kekuatan yang amat terbatas.

Perihal prasyarat individu yang layak di angkat sebagai pemimpin, Al-Farabi menjabarkan sebagai berikut, yaitu:

  1. Memiliki kualitas dan kapasitas intelektual yang mapan
  2. Sesorang yang tidak “cacat”.
  3. Memiliki kekuatan ingatan yang kuat, mampu memaksimalkan potensi inderawi semacam penglihatan dan pendengaran.
  4. Memiliki kecerdasan dan kemampuan mumpuni dalam menangkap aspirasi yang disampaikan pada dirinya.
  5. Bagus tutur kata, dan kaya peribahasa. Sempurna untuk menyampaikan pikiran yang ada di kepala lewat perkataan yang dilontarkan.
  6. Mencintai serta mendedikasikan dirinya sebagai pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan.
  7. Mencintai kebenaran, keadilan serta membenci kebohongan dan keculasan.
  8. Menyukai keadlian, membenci penindasan serta mereka yang melakukan penindasan tersebut.
  9. Tidak mengindahkan kekayaan duniawi.
  10. Tegas untuk mengeksekusi sesuatu dalam pikiran serta mengambil keputusan tanpa takut.

Tentu akan sulit menemukan bagaimana seorang calon pemimpin yang memenuhi persyaratan tersebut. Namun, Al-Farabi berpandangan bahwa kualitas tersebut bisa dicapai secara bertahap satu demi satu. Persyaratan yang disebutkan juga sejatinya sebagai patokan atau pedoman dalam menentukan pilihan pada pemimpin yang akan dipilih nantinya. Sebab bagi Al-Farabi, tugas pemimpin yang berat juga harus dilakukan secara penuh tanggung jawab oleh mereka yang cakap.

Jika kita berkaca kembali dalam bahasan Indonesia, kita temukan bahwa negara ini belum dapat dikatakan baik secara sepenuhnya. Perlu kita sadari bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, mulai dari arah pembangunan yang masih memiliki dampak buruk, keadilan yang dipertaruhkan hingga budaya korupsi yang menjadi penyakit akut. Sama halnya kala latar belakang Al-Farabi yang hidup pada zaman penuh gejolak di Pemerintahan Abbasiyah, Indonesia kini juga memiliki berbagai potensi gejolak yang nyata sehingga diperlukan sosok yang cakap dalam mengemban tugas berat tersebut.

Negara kita memang membutuhkan seorang juru selamat yang merupakan seorang moralis dan bukan oportunis. Oleh karenanya, momen Pemilu 2024 nanti menjadi waktu yang tepat untuk memilih pemimpin yang paling layak untuk dipilih. Memilih dengan dasar kebutuhan bahwa negara ini membutuhkan sosok yang mampu menciptakan ragam hal baik guna tercapainya kemaslahatan bagi tiap warga negara. Selamat memilih!

Referensi

Dwianto, A (2018). “Konsep Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah) Al Farabi dan Relevansinya Bagi Negara Indonesia”. Skripsi: Lampung: Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Raden Intan.

Mahmuda. (2019). Konsep Negara Ideal/ Utama Menurut Al-Farabi. Journal of Islamic Thought and Muslim Culture (IJITMC), 1(2), 182–198.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *