Koper yang Disiapkan Mandela #Suara

Oleh : Resza Mustafa

Euforia Suportert Piala Dunia 2010 Afrika Selatan (Foto: Google)

Barack Obama tidak pernah memiliki hubungan sedarah, sekandung, dengan Kevin Prince Boateng, Marcus Rashford, Mario Balotelli, Marco Zoro, dan sederet nama lain yang pernah merasa berbeda hanya karena soal dilahirkan dengan warna kulit berbeda dari kebanyakan orang-orang berkulit putih. Tapi mereka semua sama, rentan terhadap isu rasialisme. Dani Alves melawan rasisme dengan humor, Ivan Rakitic, memilih jalan fokus meniti karir meski di masa-masa awal ketika dia tinggal di Swiss terhuyung-huyung; akibat namanya terlampau Balkan dibandingkan nama teman-temannya yang lebih terasa Bolze

Afrika Selatan bukan sekadar menggelar hajatan besar sepak bola. Jelas, karpet hijau besar terkait kondisi geo-politik, ideologi, sosial dan budaya Afrikaner tengah ditampilkan ke permukaan agar sebisa mungkin menarik perhatian orang-orang seantero jagad. Semua tahu, hampir seluruh negara di Benua Hitam adalah kelompok yang tertinggal bila dibandingkan benua lain. Tentu saja ini tidak lepas dari akar sejarah nasib bangsa mereka pada masa silam.

Godfrey Hugh Lancelot Le May, menulis secara lengkap dalam The Afrikaners an Historical Interpretation (1995) yang lantas dicetak ulang pada (1996) dan kedua-duanya diterbitkan Blackwell di Oxford, memberitahukan sejarah bangsa Afrikaner sejak kedatangannya di Afrika bagian selatan pada abad ke-16 Masehi – tepatnya tahun 1652 – mencakup kondisi sosial, termasuk soal pos perdagangan Hindia Timur Belanda di Cape Greak Trek dua abad setelahnya, tepat pada 1830. Penemuan harta benda berharga di Transvaal pada 1990 akhir, Perang Anglo-Boer, serta proses demokratisasi Afrika Selatan lewat berjalannya pelaksanaan Pemilu tahun 1994, berandil banyak terhadap kondisi yang dialami Afrika Selatan saat ini. Pada akhirnya perkembangan institusi dan perbaikan administrasi negara-negara Afrika terus mengalami tingkat moralitas yang tinggi, dan mereka paham bagaimana cara membentuk kedaulatan secara penuh; tidak ketinggalan juga evolusi mentalitas masyarakatnya.

Masuk pada abad ke-19 Masehi, bahasa, agama, tempat tinggal, ideologi ras, dan olahraga favorit membantu warga kulit putih yang menetap di Afrika Selatan untuk mengidentifikasi apakah seseorang terkategori orang Inggris atau “Afrikaner”. Istilah Afrikaner sendiri, memiliki pengertian suatu kelompok yang terdiri dari beragam suku bangsa; Belanda, Prancis, Jerman, Portugis, dan imigran dari bangsa lain. Termasuk orang-orang Khoisan, Negro Bantu, serta para pekerja asal Malaysia, Madagaskar, dan Indonesia (Hindia Belanda).

Kriket merupakan olahraga paling digemari selain sepak bola, budaya kegemaran kriket semakin mengudara di penghujung sejarah perjalanan demokratisasi Afrika Selatan, karena Afrikaner unggul selangkah dibanding orang-orang Inggris yang kurang lihai bermain. Sejak rezim apartheid lengser medio 1994, kriket memunculkan tokoh terpandang dari Afrikaner, Hansie Cronje. Kriket menjadi simbol imperialisme tertinggi bagi bangsa Afrikaner – bahkan saat tim nasional kriket menorehkan prestasi internasional, kebanggaan terhadap Afrikaner semakin meluap.

Olahraga yang paling digemari setelah kriket, adalah sepak bola. Sepak bola Afrika Selatan punya sejarah panjang; dan jalan berliku mesti ditempuh untuk apa yang mereka torehkan saat ini. Kondisi internal politik kenegaraan turut andil memberi pengaruh serta keterimbasan bagi evolusi permainan sepak bola tim Bafana-Bafana. Richard Holt di The British Journal of Sport History, Volume 3, dalam naskah Working Class Football and the City rilis tahun 1986 memperjelas perjalanan awal mula sepak bola dikenal masyarakat di bagian selatan Afrika.

Sepak bola mulanya dimainkan oleh orang-orang kulit hitam, kulit putih, dan imigran (ras India maupun campuran) pada dekade 1870 di sudut-sudut kota. Mempunyai pencitraan sebagai olahraga yang dimainkan kalangan kelas bawah Inggris. Berbeda nasib dengan kriket dan rugbi kegemaran para aristokrat, juga kelompok yang terwesternisasi. Namun sepak bola pada akhirnya berkembang amat cepat, dan tersebar sampai ke pelosok-pelosok desa. Identik sebagai permainan yang paling disukai masyarakat urban kulit hitam. Setelah sampai ke pelosok desa, barulah sepak bola di Afrika Selatan menjadi kegemaran semua lapisan etnis – dari mulai para buruh kulit putih Inggris, imigran Eropa baru, hingga ras campuran — termasuk kelompok besar India.

Dua setengah dasawarsa berikutnya, tepatnya 1892, baru secara resmi didirikan asosiasi sepak bola Afrika Selatan dengan nama FASA (Football Association of South Africa) yang turut andil bersama Mesir, Ethiopia, Aljazair, serta Nigeria pada 1957 untuk membentuk CAF (Confederation of African Foootball) atau konfederasi sepak bola seluruh Afrika, semacam UEFA di Eropa, CONMEBOL (CSF) di Amerika Selatan, dan AFC di Asia. Namun tidak berselang lama, persepakbolaan Afrika Selatan mesti memendam kekecewaan karena status keanggotaan di lingkup federasi seluruh Afrika (CAF) mereka dicabut – ini akibat dari kebijakan politik dalam negeri yang apartheid, mengatur pemisahan hak bagi warga negaranya berdasar warna kulit (SARA). Vakum selama kurang lebih 12 tahun, tepat pada 3 Juli 1992 asosiasi dibangkitkan, dibentuk ulang dengan nama baru bernama SAFA (South African Football Association). Kehadiran SAFA, berhasil membawa persepakbolaan Afrika Selatan ke jenjang yang lebih baik; yaitu berhasil menyelenggarakan pentas internasional terbesar di Afrika edisi 1996 dan menampilkan mereka sebagai juara turnamen.

Keberlangsungan nasib persepakbolaan Afrika Selatan, ialah keberlangsunan bagi urat nadi perlawanan kaum tertindas melawan sistem apartheid. Hal ini berlangsung selama 40 tahun, dan itu bukan jangka waktu yang sebentar bagi sepak bola Afrika Selatan untuk menjembatani kesenjangan ras. Troy A. Billert, memuat kisah di jurnal Anthropologica, Waterloo (2004) — sepak bola memberi ruang bagi orang-orang kulit putih dengan pemikiran terbuka, menghindari praktik apartheid ketika bersua dengan pribumi berkulit hitam.

Obrolan di pinggir-pinggir jalan tentang tim lokal favorit masing-masing, tak jarang menghangatkan suasana berbagai ras. Mengabaikan perbedaan identitas jersey yang dikenakan. Saat ada yang tengah memainkan bola di sudut-sudut taman, ajakan bermain bersama untuk bergabung ke dalam sebuah tim lokal, akan sangat mudah dijumpai. Mengabaikan di tempat mana mereka tinggal, dan orang dari pihak keluarga siapa.

FIFA membuat aturan rotasi tempat penyelenggaraan untuk Piala Dunia. Sebelum Afrika Selatan unjuk muka, 3 benua yang lain telah mendapat jatah terlebih dahulu, hanya menyisakan Federasi Oceania (OFC). Bersaing dengan Mesir, Maroko, Libya dan Tunisia. Komite Eksekutif FIFA pada akhirnya memutuskan agar ditiadakan tuan rumah bersama; sehingga otomatis Libya serta Tunisia tereleminasi.

Tunisia memilih mengundurkan diri, sedang Libya tidak mampu memenuhi syarat lisensi yang dituntutkan FIFA. Tepat pada 15 Mei 2004 di Zurich, Sepp Blater mengumumkan Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010, negara pertama di Afrika yang mendapat kesempatan menggelar turnamen sepak bola terbesar sejagad — lewat perolehan suara 14, mengalahkan Mesir yang mendapat 10 suara dan Maroko yang kosong. Alias turnamen ke sembilan belas kali dalam sejarah persepakbolaan internasional.

Beberapa bulan sebelum Johannesburg menggelar hajatan besar sepak bola, Nelson Mandela dan Afrrika Selatan mesti berjibaku menghadapi komentar-komentar pedas di media massa. Kebanyakan menganggap bahwa Piala Dunia 2010 akan menuai kegagalan mengingat angka kriminalitas yang tinggi di Cape Town. Tetapi Jacob Jouma bukanlah sosok penyuka budaya imperialis – sehingga perayaan sepak bola bukan semata melihat siapa pengangkat trofi gelar juara, tetapi lebih dari itu, sepak bola ialah pesta kebersamaan yang dikenal punya daya magis mampu meruntuhkan tembok rasial, mengubah latar geografi dan kondisi sosial 180 derajat.

Johan Burger, peneliti senior untuk Program Hukum dan Kriminal Institut Penelitian Keamanan Afrika Selatan menegaskan angka kasus pembunuhan menurun hingga 44 persen sejak 1995, tepat satu tahun setelah Nelson Mandela resmi dilantik menjadi Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Waktu untuk menyembuhkan luka telah datang, kata Mandela dalam pidato pelantikannya, dan salah satu ruang itu dia wujudkan melalui kevalidan data tiga juta tiket terjual ketika Piala Dunia 2010 digelar. Negara terlaris dan terbanyak pengunjungnya setelah edisi Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat dan Piala Dunia 2006 di Jerman.

Ketangguhan Nelson Mandela melawan budaya apartheid serta imperialis, membuat Afrika Selatan menemukan demokratisasi yang diimpikan sejak berabad-abad lampau. Melahirkan Zakumi pada 16 Juni 1994, bertepatan dengan Hari Pemuda Nasional. Macan tutul berwarna kuning dan berambut hijau eksotik ialah maskot yang rasa-rasanya tepat dan pantas dipilih untuk merepresentasikan sisi humanis Afrika Selatan. “Za” merupakan kode dua huruf dalam bahasa nasional berarti Afrika Selatan, dan “Kumi” yang berarti sepuluh dalam berbagai bahasa Afrika, berarti bilangan penunjuk tahun penyelenggaraan turnamen.

Tidak hanya itu, apa yang diperjuangkan Mandela telah melampaui batas keinginan seluruh rakyat agar Afrika Selatan menjadi lebih moderat dan berkemajuan. Lewat sepak bola, setelah apa yang pertama kali ditorehkan pada 1998 di Prancis, Afrika Selatan secara berani memperkenalkan anak-anak bangsa patriotik seperti Pienaar, Mc Carthy, Parker, Mokoena, juga Dikgacoi yang digandrungi para penikmat Liga Primer Inggris dan semua rekannya, menendang-nendang Jabulani di tanah kelahiran mereka sendiri. Saling berlomba, bersaing, unjuk kemampuan dalam satu tim kesebelasan utuh meski kulit mereka tidak semuanya hitam; pun sebaliknya; tidak semuanya putih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *