Kepmenkominfo 172, Cara Baru Pemerintah Bredel Platform Media Sosial

Oleh: Muhammad Iqbal Khatami (Founder Muda Bicara ID, Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu)

Beberapa waktu yang lalu, perhatian publik tertuju pada rencana pembentukan Dewan Media Sosial dan revisi Undang-Undang Penyiaran yang dianggap mengancam kebebasan berpendapat. Namun, terdapat regulasi lain yang tidak kalah mengancam – dimana telah disahkan dan siap diterapkan, yakni Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kepmenkominfo) Nomor 172 Tahun 2024. Regulasi ini mengatur pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari denda administratif atas pelanggaran kewajiban penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang melibatkan konten buatan pengguna.

Keputusan ini merupakan turunan dari Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Saat pertama kali muncul, Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 ini memang sempat menuai kontroversi karena ancaman pemblokiran terhadap platform seperti PayPal dan Steam jika tidak mendaftar ke Kemenkominfo. Intinya, regulasi tersebut mewajibkan platform digital untuk mendaftar dan mematuhi aturan di Indonesia, termasuk mematuhi aturan turunan seperti Kepmenkominfo 172 yang mengatur denda administratif bagi platform yang tidak mematuhi kewajiban pemutusan akses konten.

Potensi Masalah

Dalam Permenkominfo No. 5 Tahun 2020, terdapat ketentuan bahwa PSE harus memastikan tidak ada informasi elektronik atau dokumen elektronik yang dilarang. Namun, pada Pasal 9 Ayat 4, terdapat frasa yang bersifat multitafsir: “Meresahkan masyarakat dan menganggu ketertiban umum.” Frasa ini berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah karena tidak ada indikator pengukuran yang jelas, sehingga dapat digunakan untuk menekan pihak yang lebih lemah alias menjadi pasal karet

Masalah lainnya adalah terkait pengajuan banding bagi platform. Kepmenkominfo 172 memang memberikan peluang bagi platform untuk mengajukan banding. Namun, proses banding ini tidak memberikan insentif bagi platform. Platform diberi waktu 1×24 jam untuk menurunkan (takedown) konten yang tidak mendesak dan 1×4 jam untuk konten mendesak. Jika tidak dilakukan, platform akan dikenakan denda atau bahkan pemutusan akses di Indonesia jika menolak membayar denda.

Platform yang ingin membela pengguna atas konten yang dianggap melanggar oleh Kominfo harus melalui proses panjang seperti analisis konten terkait, penyediaan dokumen, hingga bersurat ke Kominfo. Jika kontennya adalah perjudian atau pornografi, mungkin keputusan bisa diambil dengan cepat.

Namun, untuk konten yang kategorinya dianggap “meresahkan masyarakat” atau “mengganggu ketertiban umum,” sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 Ayat 4, maka tentu saja bagi platform memerlukan analisis konteks, bahasa, dan hukum yang mendalam dan memakan waktu panjang. Lebih parahnya lagi, konten yang dianggap meresahkan masyarakat dikategorikan sebagai mendesak, sementara konten perjudian dikategorikan tidak mendesak dalam aturan Kepmenkominfo 172 tersebut.

Potensi Pembredelan Media Sosial

Kepmenkominfo 172 memperlihatkan bahwa pemerintah lebih mengedepankan kontrol dan pendisiplinan daripada tata kelola di ruang media sosial. Ketiadaan proses hukum yang adil dan adanya pasal karet menjadikan upaya represif dalam ruang digital sebagai budaya. Akibatnya, pembatasan hak menjadi suatu yang difasilitasi melalui kebijakan-kebijakan semacam ini. Platform mungkin akan memilih untuk men-takedown konten daripada menghadapi proses yang panjang dan berisiko terkena denda, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pembatasan kebebasan berpendapat di media sosial secara masif.

Misalnya, jika pemerintah menganggap sebuah konten yang membahas kebijakan publik sebagai “meresahkan masyarakat, mereka bisa meminta platform untuk menghapusnya dengan dalih menjaga ketertiban umum. Platform yang menerima permintaan ini memiliki waktu yang sangat terbatas untuk menindaklanjutinya, tanpa insentif atau perlindungan yang memadai jika mereka memutuskan untuk menolak atau mengajukan banding. Proses banding yang memerlukan dokumentasi yang rumit dan interaksi langsung dengan Kominfo menjadi hambatan tambahan.

Lebih jauh, tekanan untuk menuruti permintaan penghapusan konten ini juga berdampak pada cara platform menjalankan operasinya di Indonesia. Banyak platform digital, terutama yang berskala besar dan internasional, mungkin akan merasa lebih mudah dan efisien untuk langsung menghapus konten yang dipersoalkan daripada menghabiskan sumber daya untuk memproses banding. Akibatnya, konten yang sebenarnya tidak melanggar hukum tetapi dianggap “meresahkan” oleh pihak berwenang bisa hilang dari ruang publik digital.

Pemerintah perlu menyeimbangkan antara pengaturan konten yang merugikan dengan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat agar ruang digital tetap menjadi tempat yang bebas dan inklusif. Misalnya, perlu adanya definisi yang lebih jelas dan tegas tentang apa yang dimaksud dengan “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum.” Indikator pengukuran yang objektif dan transparan juga harus disertakan untuk mengurangi potensi multitafsir. Selain itu, mekanisme banding harus dirancang agar lebih mudah diakses dan lebih adil bagi platform digital. Insentif bagi platform yang mengajukan banding atau menolak permintaan penghapusan konten yang tidak berdasar juga perlu dipertimbangkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *