Bersatu dengan #KawalPutusanMK: Perspektif Interseksionalitas dalam Gerakan Masyarakat Sipil

Oleh: Alifya Ikhsanty (Kontributor Muda Bicara ID)

Pada tanggal 22 Agustus 2024, aksi unjuk rasa besar-besaran yang terjadi di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia seakan telah berhasil memecah keheningan masyarakat terhadap melemahnya proses demokrasi dan cacatnya konstitusi kita saat ini. Aksi unjuk rasa ini dimulai dengan munculnya tagar #KawalPutusanMK untuk menyuarakan aksi pengawalan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Selasa (20/8/2024) yang mengabulkan pencalonan kepala daerah oleh partai dengan ambang batas suara 6,5 – 10%, sekaligus penetapan MK yang berkaitan dengan syarat usia cagub dan cawagub harus berusia 30 tahun saat penetapan calon. Bagaikan angin segar yang langsung dicemari dengan polusi, masyarakat dibuat geram dengan hasil rapat kerja yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Rabu (21/8/2024) dengan mengembalikan ambang batas pencalonan 20% kursi DPRD, serta usia calon kepala daerah yang dimaksudkan adalah pada saat pelantikan. Hal ini pun menjadi permasalahan karena putusan MK seakan dianggap angin lalu, dan keputusan yang ditetapkan oleh Baleg DPR seakan terburu-buru untuk mengakomodasi kepentingan keluarga tertentu.

Tagar #KawalPutusanMK pun semakin menggema dengan diikutinya bentuk aktivisme lain dengan gambar garuda berlatar biru yang bertuliskan “Peringatan Darurat”. Gambar ini dimulai oleh candaan dari akun (@BudiBukanIntel) di media sosial X pada tanggal 21 Agustus 2024 pagi. Dari sebuah meme internet, lalu diramaikan oleh tokoh-tokoh publik seperti Najwa Shihab hingga media massa lainnya menjadi satu fenomena perlawanan masyarakat terhadap bentuk represi negara. Gerakan sosial digital ini terus meluas hingga menciptakan tekanan publik terhadap pemerintah, dan terus menggema hingga dalam semalam pengorganisiran massa terbentuk menjadi aksi unjuk rasa di kota-kota besar di Indonesia. 

Demonstrasi besar-besaran ini adalah akumulasi kekecewaan masyarakat Indonesia yang beberapa tahun belakangan ini terus tertahan, terutama sejak Pemilihan Presiden di awal tahun 2024, saat Mahkamah Konstitusi meloloskan Gibran sebagai pasangan calon presiden dari Prabowo Subianto. Setelah kemenangan pasangan nomor urut 02 dan Gibran Rakabuming Raka dengan julukan ‘anak haram konstitusi’ pun menjadi wakil presiden terpilih untuk periode 2024 – 2029, namun dinamika politik elektoral di Indonesia tak berhenti di situ. Setelah pemilihan presiden, masyarakat Indonesia segera menyambut kembali kontestasi politik elektoral dalam pilkada di bulan November nantinya. Dinamika politik kedaerahan sudah mulai terlihat, terutama di Jakarta dengan manuver politik yang dilakukan oleh partai-partai politik yang mulai mengusung nama-nama bakal calon gubernur dan wakil gubernurnya. Terbentuknya koalisi KIM Plus yang terdiri dari 12 partai politik yang termasuk sebelumnya mengusung Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka dalam pilpres 2024, lalu dalam pilkada 2024 mengusung Ridwan Kamil dan Suswono. Koalisi KIM Plus menjadi persoalan karena jumlah partai politik yang memiliki kursi di DPR dan menjadi oposisi hanya tertinggal PDIP saja, sedangkan syarat untuk dapat mencalonkan nama berkaitan dengan ambang batas sebesar 20%.  

Selain dinamika politik di Jakarta yang sangat rumit dengan adanya isu kotak kosong hingga isu penjegalan pencalonan Anies Baswedan, isu Kaesang Pangarep yang adalah anak bungsu presiden Joko Widodo, yang sekaligus ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dikabarkan akan diusung menjadi calon kepala daerah di Jawa Tengah, meski ia belum memenuhi syarat batas usia pencalonan. Namun, dengan diubahnya peraturan dengan memaknai bahwa usia calon kepala daerah harus 30 tahun pada saat ‘pencalonan’, maka memungkinkan untuk Kaesang dapat diusung menjadi bakal calon. Keputusan ini jelas melanggar konstitusi sekaligus merusak iklim demokrasi kita saat ini, seakan ketamakan akan kekuasaan tak dapat dicegah dan kalangan elit politik yang terus tunduk pada perintah keluarga Presiden Jokowi. 

Gerakan sosial #KawalPutusanMK ini menyebar luas bahkan menjadi perhatian media asing, dan hal ini menjadi menarik dengan bagaimana gerakan yang bermula di media sosial dapat membentuk gerakan politik dan aksi kolektif langsung yang berhasil mempengaruhi para pemangku kebijakan. Tak hanya menjadi seruan terhadap para pemangku kekuasaan, gerakan ini juga dapat menjadi upaya untuk menyebarkan informasi dan kesadaran masyarakat akan isu-isu politik yang ada di negara ini. 

Perspektif Interseksionalitas dalam Aktivisme #KawalPutusanMK

Aktivisme digital #KawalPutusanMK ini, jika boleh saya katakan telah berhasil memperlihatkan esensi dari gerakan kolektif masyarakat itu sendiri. Keberhasilannya adalah bukan hanya tentang bagaimana pemerintah mendengarkan tuntutan masyarakatnya, tetapi bagaimana gerakan kolektif ini dapat terbangun dan mengakomodasi perbedaan perspektif dari tiap kalangan kelas, ras, hingga gender untuk dapat bergerak bersama. Untuk dapat melihat bagaimana gerakan kolektif ini terbentuk, perspektif interseksionalitas merupakan salah satu konsep yang dapat membantu mengerti bagaimana pola gerakan ini menjadi gerakan semua orang. Frasa interseksionalitas pertama kali muncul dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Kimberlé Crenshaw, seorang feminis kulit hitam yang diterbitkan pada tahun 1989 dan 1991, dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman diskriminasi tertentu yang dialami oleh perempuan Afrika-Amerika yang terpinggirkan karena ras dan gender mereka. 

Interseksionalitas pada dasarnya menekankan bahwa identitas sosial adalah hubungan yang saling terjalin antara pengalaman individu dan juga kompleksitas sistem-sistem yang menindas. Akar dari interseksionalitas adalah konsep yang merujuk pada bagaimana diskriminasi ganda dialami oleh perempuan kulit hitam, perspektif ini didasarkan pada perjuangan perempuan dalam menghadapi bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender. Untuk memudahkan dalam memahami konsep ini, saya akan mengacu pada roda interseksionalitas (Gambar 1) di bawah ini, di mana secara garis besar dalam (Simpson, 2009) tiap lapisan lingkaran merupakan karakter personal seseorang (identitas sosial) yang bersinggungan dengan sistem dan struktur akan mempengaruhi pengalaman individu. Penggunaan konsep interseksionalitas terus mengalami perkembangan dan telah banyak digunakan sebagai alat untuk menganalisis dan mengadvokasi berbagai macam isu sosial dan kemanusiaan. 

Gambar 1 Intersectionality Wheel (Roda Interseksionalitas)

Jika kita melihat kembali fenomena gerakan sosial #KawalPutusanMK, perspektif interseksionalitas menjadi relevan dengan bagaimana isu ini tak hanya sekadar menjadi isu politik elektoral saja yang hanya berkutat dalam lingkup kelompok tertentu. Keberhasilan narasi yang dibangun bahwa gerakan ini adalah perjuangan bersama meski latar belakang yang berbeda merupakan landasan dasar dalam perspektif interseksionalitas. Seperti dalam konteks sederhananya, narasi seperti “untuk penggemar travelling, isu ini akan berpengaruh pada harga tiket pesawat dan visa Indonesia yang lemah”, atau “untuk penggemar K-pop, harga tiket konser dipengaruhi juga oleh kebijakan pajak negara”, bahkan narasi yang menyentuh isu kelas dengan bagaimana kelas pekerja di bidang apapun merupakan kelompok yang akan terdampak oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan secara ugal-ugalan ini. 

Dari Aktivisme Digital hingga Mengorganisir Massa Lapangan 

Pemanfaatan penggunaan teknologi digital dalam gerakan sosial juga telah menjadi lingkup baru yang dioptimalkan oleh para aktivis sosial saat ini, seperti dalam gerakan #KawalPutusanMK yang juga diawali dengan bentuk aktivisme digital. Narasi yang terbangun dan ajakan seruan isu ini dibangun melalui media sosial, di mana hal ini menjadi bentuk kontinuitas informasi ke berbagai kalangan. Meski kekhawatiran akan fenomena echo chamber (ruang gema) mengenai isu ini tak bisa terhindarkan, terutama bagaimana isu kelas juga mempengaruhi tersebarnya informasi. Namun, dengan masifnya informasi mengenai gerakan #KawalPutusanMK ini berhasil menyentuh ruang-ruang masyarakat lainnya, meski belum semua lapisan, tetapi dengan upaya optimalisasi penggunaan ruang digital, mengorganisir massa semakin dimudahkan meski terpisah sekat antara jarak. 

Upaya meningkatkan kesadaran kelas dengan perspektif interseksionalitas kepada masyarakat juga terbangun melalui aktivisme digital #KawalPutusanMK, penyebaran narasi diskriminasi dan sistem represif negara terhadap masyarakat dengan pengalaman dan latar belakang yang berbeda masif digaungkan melalui media sosial. Narasi dengan pendekatan interseksionalitas digunakan dengan cara bagaimana tingkat kesadaran terhadap isu ini berbeda bagi tiap individu, meski begitu diskriminasi dan tekanan oleh sistem negara ini dialami oleh semua orang. Hal ini membantu membangun perasaan ‘kesamaan’ yang mana pendekatan interseksionalitas dapat mengakomodasi tiap pengalaman individu menjadi satu kesatuan.

Gerakan Sosial dan Produk Kebijakan yang Bersifat Keadilan 

Penerapan perspektif interseksionalitas perlu kajian yang dalam jika itu berkaitan dengan produk kebijakan, namun dalam lingkup gerakan sosial hal ini telah banyak digunakan, di mana penggunaan perspektif interseksionalitas penting sebagai alat analisis dalam gerakan sosial yang melibatkan masyarakat di akar rumput. Konsep interseksionalitas juga penting untuk mengevaluasi strategi dalam gerakan sosial sehingga tercapai interseksionalitas politik yang memasukkan kelompok terpinggirkan dan menyadari perbedaan kekuasan (Roth, 2021). Ketika melihat gerakan #KawalPutusanMK, secara keseluruhan narasi yang terbangun dengan analisis pendekatan berdasarkan pengalaman masing-masing individu ataupun kelompok merupakan cara yang efektif, dan terbukti berhasil dalam mengorganisir massa. Meski begitu, kekosongan perspektif ini juga masih terasa jika penggunaannya tak sepenuhnya diterapkan, terutama ketika melihat individu yang berada di bagian kelompok akar rumput. 

Gerakan sosial atau aktivisme #KawalPutusanMK dapat berjalan dengan perspektif interseksionalitas, dan tak hanya itu, perspektif ini juga dapat menjadi alat untuk mendorong kebijakan yang bersifat keadilan dan inklusif. Berangkat dari tuntutan masyarakat yang telah ‘sadar’ akan posisi dan lapisan diskriminasi apa yang mereka alami, maka gerakan sosial yang menuntut kebijakan-kebijakan oleh pemerintah ini pun akan lebih kritis terhadap dampak apa yang akan /dan telah mereka rasakan. Intervensi kebijakan dengan interseksionalitas merupakan persoalan yang penting, meski pada praktiknya penggunaan perspektif ini merupakan hal yang cukup sulit dan ‘mahal’ untuk dilakukan, tetapi ketika masyarakat sudah lebih sadar, maka pemangku kebijakan pun akan merasakan adanya ‘tanggung jawab’ untuk memenuhi tuntutan tersebut. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *