Bahaya Pengangguran Terdidik

Oleh: Moch Edward Trias Pahlevi

Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan saat acara Job Fair di kawasan Jakarta, Rabu (27/11/2019) Sumber: Liputan6

Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan kabar yang tidak menyenangkan pasca Pemilu 2024, yaitu hasil survei data Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan pada tahun 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) yang tidak memiliki kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) di Indonesia. Dari 9,9 juta orang tersebut, 5,73 juta orang merupakan perempuan muda, sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda. Kebanyakan dari mereka adalah Gen Z yang seharusnya berada di masa produktif. Gen Z merupakan generasi yang lahir pada tahun 1997-2012. Mereka sekarang berusia 12-27 tahun. Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang berstatus NEET di Indonesia mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.

Fenomena ini menjadi tantangan utama bagi pemerintahan baru, yaitu Prabowo-Gibran, untuk mampu memberikan peluang besar bagi Gen Z dan Gen Y guna menekan angka pengangguran di Indonesia. Hal ini juga menjadi isu serius bagi calon kepala daerah yang akan berkontestasi pada Pilkada 2024 di bulan November nanti. Tentu sungguh miris, di sisi yang berbeda banyak politisi yang membicarakan secara berlebihan mengenai Indonesia Emas tanpa langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Membicarakan Indonesia Emas 2045 dengan realita banyaknya pengangguran generasi muda akan membuat frustrasi bagi generasi muda itu sendiri. Seakan Indonesia Emas menjadi kiasan yang menarik untuk diperbincangkan di ranah akademik tetapi sulit untuk diimplementasikan secara konkret. Maka perlu kolaborasi lintas sektor lembaga untuk menggarap isu ini, baik lembaga dalam sektor publik (pemerintah) maupun lembaga swasta.

Gen Z dan Gen Y: Korban Sistem Pendidikan yang Tidak Terhubung dengan Kebutuhan Industri

Gen Z dan Gen Y dihadapkan pada situasi yang rumit. Baik pendidikan yang didapatkan di sekolah maupun di perguruan tinggi tidak terhubung dengan dunia kerja. Muncul narasi-narasi harapan dari pemerintah bahwa Gen Z dan Gen Y memiliki kesempatan kerja yang luas dalam bidang digital. Dengan memanfaatkan teknologi digital, mereka diharapkan mendapatkan peluang kerja yang lebih baik. Namun faktanya, mereka tidak mendapatkan pelatihan atau pembekalan digital yang memadai sehingga mereka berada dalam kondisi anomali. Peluang kerja sangat kecil, dan ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terkendala biaya yang mahal. Ini adalah fenomena yang sangat menyulitkan. Argumen ini berangkat dari pengalaman penulis yang tergolong sebagai generasi milenial.

Penulis juga merasa bahwa Gen Z dan Gen Y adalah korban dari sistem pendidikan yang tidak terhubung dengan kebutuhan industri atau pasar. Kurikulum di sekolah dan universitas tidak mengikuti perkembangan zaman yang mengakibatkan lulusan hanya terpaku pada sisi teoritis dan belum menyentuh aspek keterampilan.

Bahaya Pengangguran bagi Stabilitas Negara

Ada dampak negatif ketika pengangguran meningkat, terutama ketika pengangguran dialami oleh orang-orang yang terdidik (memiliki gelar sarjana). Pertama, tingginya pengangguran yang dialami Gen Z dan Gen Y akan berdampak pada penerimaan pajak yang berkurang. Pengangguran yang tidak memiliki pendapatan juga tidak akan berbelanja sehingga pendapatan pajak dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak akan datang dari mereka. Secara logika ekonomi sederhana, semakin banyak pengangguran, maka wajib pajak juga sulit bertambah. Jumlah wajib pajak yang tidak berkembang akan membuat penerimaan pajak sulit naik karena jumlah yang dikenai pajak dan setoran pajak akan berkurang. Pada saat yang bersamaan, banyak angkatan kerja yang menua dan harus pensiun sehingga mengurangi juga setoran pajak.

Kedua, pengangguran menimbulkan persoalan sosial. Banyak generasi muda yang terdidik menganggur akan menimbulkan persoalan baru, misalnya meningkatnya kriminalitas di masyarakat akibat frustrasi tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Akhirnya, cara-cara negatif digunakan untuk melampiaskan kondisi tersebut. Selain itu, pengangguran juga menimbulkan persoalan psikologis yang mendorong mereka untuk melakukan bunuh diri akibat frustrasi. Tentunya, ketika Gen Z dan Gen Y banyak yang menganggur, akan muncul banyak persoalan di masyarakat dan tata kelola anggaran negara. Mereka bisa menambah beban negara dalam bentuk pemberian bantuan sosial atau layanan kesehatan. Padahal, mereka tidak berpartisipasi menyumbang iuran. Bila seseorang terus menganggur, juga bisa menimbulkan penyakit sosial seperti gelandangan atau pengemis.

Ketiga, mimpi Indonesia Emas 2045 atau Indonesia Maju hanya menjadi kiasan. Banyaknya generasi muda yang menganggur, terutama yang berpendidikan, mengancam mimpi Indonesia menjadi negara maju dengan tujuan Indonesia Emas 2045. Pada tahun 2045, Indonesia memasang target pendapatan per kapita sebesar USD 30.300. Jumlah tersebut enam kali lipat dari saat ini yang berkisar di USD 4.917. PDB per kapita setinggi itu tentu saja harus ditopang oleh struktur tenaga kerja yang produktif dan dibekali kemampuan yang mencukupi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *