Atas Nama Kursi, Palu Konstitusi Tak Bertaji (Lagi)?

Oleh: Yayang Nanda Budiman, SH (Lawyer Intern & Legal Content Writer)

Foto: iStockPhoto

Di tengah euforia perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia yang masih terasa, bendera merah putih masih berkibar di sudut-sudut kota dan perkampungan. Namun, publik kembali dihadapkan pada serangkaian kejutan dari pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan, pernyataan, maupun sikapnya. Setelah polemik terkait anggaran perayaan HUT RI ke-79 di Ibu Kota Negara (IKN) yang mencapai Rp 87 miliar di tengah gelombang PHK massal, belum sepenuhnya teratasi, kini muncul isu baru. Beberapa warga DKI Jakarta digegerkan oleh pencatutan sepihak kartu identitas (KTP) untuk mendukung salah satu pasangan calon dalam Pilgub Jakarta, menimbulkan pertanyaan serius terkait legitimasi.

Tidak berhenti di situ, publik kembali terkejut dengan manuver Badan Legislasi DPR yang berencana menyelesaikan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Upaya ini dianggap sebagai cara untuk mengakali dua putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkait syarat pencalonan dalam Pilkada mendatang. DPR yang biasanya lamban kini bergerak cepat, berbeda dengan pembahasan RUU Perampasan Aset. Draft RUU Pilkada tersebut sudah disetujui oleh hampir semua fraksi di DPR, kecuali fraksi PDI Perjuangan yang menolak. Banyak pihak menduga langkah ini merupakan strategi DPR dan pemerintah untuk memuluskan jalan bagi Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, untuk berkompetisi di Pilkada 2024.

Praktik legislasi yang terkesan sembarangan dan arogan ini bukan hal baru, tetapi kemarahan publik semakin memuncak. Hal ini terlihat dari viralnya seruan “Peringatan Darurat” dengan simbol Garuda berlatar biru di media sosial. Akibatnya, demonstrasi terjadi di berbagai kota, dari mahasiswa, akademisi, buruh, hingga masyarakat luas, sebagai bentuk protes terhadap legislatif yang dinilai bekerja serampangan.

Atas Nama Kursi

Spekulasi publik mengarah pada upaya lingkaran kekuasaan dan koalisi besarnya untuk memperkuat dominasi di Pilkada 2024. Ini tampak dari pengabaian terhadap dua putusan terbaru Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas partai politik dalam mengusung calon kepala daerah dan syarat usia calon kepala daerah. Upaya ini dianggap sebagai langkah untuk mencari celah demi memfasilitasi pencalonan putra presiden dalam Pilkada 2024, terutama di daerah-daerah yang dikuasai partai-partai koalisi.

Langkah cepat Badan Legislasi DPR dalam merevisi Undang-Undang Pilkada, hanya sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap “angin segar” bagi demokrasi, dinilai sebagai tindakan negatif. Delapan dari sembilan fraksi di DPR sepakat hanya mengadopsi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi, yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan dapat menghasilkan proses demokrasi palsu dalam Pilkada 2024.

Saat ini, publik perlu menyadari bahwa DPR tidak lagi menjadi representasi harapan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. DPR, yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas eksekutif, justru terlihat bersekutu untuk memuluskan ambisi penguasa.

Pembakangan Konstitusi (Lagi)

Di hadapan watak kekuasaan yang congkak hari ini, putusan pengadilan nampak layu tak bertaji. Bingkai negara hukum seperti yang dituangkan dalam konstitusi seperti mati suri tanpa implementasi. Semuanya seolah dikotak-katik, ditafsirkan sedemikian rupa untuk menghalalkan segala cara. 

Fenomena manipulasi hukum (autractic legalism) untuk melegitimasi setiap tindakan penguasa di era kepemimpinan rezim saat ini telah menjadi isu serius terkait dengan bagaimana nasib ketajian hukum dan masa depan demokrasi yang akan datang. Kekalahan hukum di hadapan para politisi pragmatis semakin memperkuat anggapan bahwa hukum, yang seharusnya menjadi pedoman negara untuk mencapai keadilan, justru dirancang untuk membenarkan tindakan sembrono dari rezim yang berkuasa.

Sikap grasak-grusuk DPR dengan merevisi beberapa ketentuan Undang-Undang Pilkada dalam waktu singkat dan sembarangan tanpa didasari pada putusan Mahkamah Konstitusi terbaru jelas memantik kecurigaan publik untuk melihat apa yang terjadi dibalik “kedaruratan” revisi tersebut, selain bertujuan untuk membatalkan batas-batas konstitusional yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang telah final dan mengikat.

Putusan a quo menafsirkan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Pilkada, yang sebelumnya mengatur ambang batas pengusungan pasangan calon berdasarkan perolehan kursi dan suara di Pemilu DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu provinsi/kabupaten/kota dengan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap, yang setara dengan persentase pencalonan perseorangan. Ketentuan ini bertujuan memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi semua partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak, serta membuka peluang bagi calon kepala daerah alternatif untuk bersaing melawan dominasi koalisi besar.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, Mahkamah juga menegaskan bahwa syarat usia untuk pencalonan kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan dari saat pelantikan pasangan calon terpilih. Hal ini konsisten dengan praktik historis dan sistematis serta perbandingan dengan pemilihan lain, berbeda dari ketentuan yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 yang justru akan berpotensi memberikan ruang dan kesempatan bagi Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, untuk ikut andil dalam persaingan pemilu meskipun saat penetapan pasangan calon ia belum memenuhi syarat usia sebagai yang telah digariskan oleh Undang-Undang Pemilu.

Sinyal Darurat Belum Usai

Meski di hari yang sama pada saat puncak demonstrasi semakin meluas, dalam rapat paripurna sudah di informasikan bahwa rencana pengesahan RUU Pilkada ditunda—hal tersebut bukan karena alasan adanya desakan penolakan publik, tapi karena tak penuhi kuorum—namun publik harus tetap terus mengawal dan mengawasi hingga rencana ambisius itu dibatalkan sepenuhnya, bukan lagi ditunda.  

Dan dari polemik yang tengah berlangsung, publik telah melihat sendiri bagaimana rentetan upaya pembangkangan terhadap konstitusi serta orkestrasi kekuasaan yang berlebihan tanpa adanya pengawasan berarti dari lembaga yang seharus berperan untuk itu yakni legislatif tidak hanya terjadi sekali.

Tanpa perlu ditutupi dengan narasi apapun bahkan dengan dukungan buzzer sekalipun, rezim otokratis ini sangat kental untuk melanjutkan praktek legalisme otoriter guna mengakumulasi kekuasaan dan mengkonsolidasikan dengan penuh kekuatan elit politik hingga ke tingkat pemerintahan daerah dengan tujuan menghidupkan kembali gurita politik dinasti.

Bagaimanapun publik sudah lelah, capek dan muak menyaksikan kepongahan cara-cara kerja pemerintah yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri dan kroninya hanya untuk mempertahankan kursi, mengabadikan ambisi dengan cara yang zalim.   Dan pergolakan protes publik hari ini adalah akumulasi dari kelelahan dan kekesalan yang mereka endapkan setelah melihat praktik kekuasaan yang semakin jauh dari prinsip demokrasi dan negara hukum yang tidak sesuai dengan semangat reformasi. Jika praktik demikian terus-menerus dilegitimasi, dihalalkan bahkan dinormalisasi, maka barangtentu kekacauan praktik bernegara yang semestinya berangkat pada pemenuhan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum tak akan mungkin dapat diwujudkan.

Akhirnya, publik dapat menilai sendiri bahwa tindakan DPR maupun pemerintah sudah sejak awal mendelegitimasi Pilkada 2024, karena aturan-aturan Pilkada yang telah digariskan penafsirannya oleh Mahkamah Konstitusi justru telah dikontaminasi sedemikian rupa untuk mengurangi jumlah pesaing dengan menutup peluang bagi kandidat alternatif, dan cara-cara kotor demikian sangat berbahaya bagi kelangsungan proses demokrasi dan pemilu yang sehat, adil dan beradab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *