Antropogenik vs Masa Depan Mangrove di Indonesia

Oleh: Martin Silaban (Researcher di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan)

Pada tahun 2022 lampau, saya berada di salah satu daerah dalam suatu momen proses pendampingan masyarakat. Lebih tepatnya, saya berada di satu desa yang lokasinya berada di wilayah pesisir.  Desa tersebut memiliki luasan mangrove yang cukup banyak. Namun, pada suatu ketika, hadirlah rencana investasi ke desa tersebut dalam wujud budidaya Udang Vanambe dan narasi peningkatan ekonomi masyarakat.  Kehadiran investasi ini mengharuskan adanya lahan yang dipersiapkan yang mana juga berada di lokasi mangrove. Rayuan peningkatan ekonomi membuat masyarakat setempat (meskipun tidak semua sepakat) berbondong-bondong menyerahkan lahannya dan dengan sukarela melakukan penebangan terhadap mangrove yang sudah tumbuh bertahun-tahun demi memujudkan hadirnya  budidaya udang yang berdasarkan informasi terakhir yang saya dapatkan bahwa proses tersebut tidak lagi berlanjut karena persoalan administrasi dan lain sebagainya. Namun, mangrove telah hancur. Apa mau dikata. Investasi gagal, mangrove hilang. 

Ini hanyalah salah satu kisah pengalaman nyata dari ribuan pengalaman di berbagai desa, maupun di berbagai wilayah di Indonesia dimana demi investasi harus menghancurkan ratusan ribuan bahkan jutaan hektar ekosistem mangrove. Saya menyebutnya ekosistem karena kehadiran mangrove tidak hanya sebatas hutan nya saja, atau pohon dan semua yang melekat di sana,namun juga sekaligus menjadi rumah bagi berbagi spesies tumbuhan dan hewan-hewan yang khas. Tentu saja hal ini sama dengan arti kata mangrove yang dianggap berasal dari kata mangal yang berarti komunitas tumbuhan. Mangrove juga menjadi tempat perkembangan biota perairan yang menurut Onrizal, pakar lingkungan hidup dari Universitas Sumatera Utara (USU) bahwa biota perairan seperti ikan, udang dan kepiting sangat tergantung pada kondisi dari mangrove. Jika mangrove sehat maka biota perairan akan banyak namun jika rusak maka hal tersebut juga akan merusak biota yang ada di perairan.

Tentu kalau kita amati, baca maupun alami sendiri, beragam manfaat diberikan oleh Mangrove bagi kehidupan. Kisah peristiwa bencana yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara menjadi salah satu cerita bahwa ekosistem mangrove dapat menjadi salah satu yang mampu mengurangi korban jiwa saat peristiwa bencana terjadi. Begitu juga kisah pengalaman masyarakat di Nias yang juga mengalami perlindungan yang sama yang diberikan oleh mangrove. Saya juga menyaksikan di salah satu wilayah yang terkena bencana tsunami, bagaimana mereka juga ‘diselamatkan’ oleh mangrove yang sayangnya akhirnya juga harus mereka khianati dengan menebangnya.

 Hutan Mangrove di berbagai wilayah di Indonesia menghadapi ancaman setiap tahunnya. Ancaman ini datang dari manusia, yang mereka lindungi setiap saat dari segala peristiwa. Walhi melaporkan berbagai wilayah seperti Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Papua, lokasi-lokasi dimana mangrove hadir namun akhirnya terus mengalami degradasi.

Lantas berapa jumlah degradasi yang terjadi? Tentu kita akan melihat pada jumlah luasan mangrove yang ada di Indonesia. Data-data terkait luasan mangrove saat ini berbeda satu sama lain. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik per desember 2021, luas ekosistem mangrove atau bakau di Indonesia mencapai 3.63 juta hectare (Ha) yang mana hal ini setara dengan 20.37 % dari total dunia. Di sisi lainnya, Peta Mangrove nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan tahun 2021 menyebutkan bahwa luas mangrove Indonesia sebesar 3.364.076 hektare.  Penelitian yang dilakukan oleh Giesen dkk yang berjudul Mangrove Guidebook for southeast Asia menyebutkan bahwa hampir 60 % mangrove di Asia Tenggara berada di Indonesia.

Meski demikian, anugerah yang ada melalui hadirnya mangrove di Indonesia harus vis a vis dengan data kerusakannya. Data dari National geographic Indonesia menyebutkan bahwa 50 % wilayah hutan mangrove telah musnah. BBC News Indonesia juga mengemukakan bahwa dalam 20 tahun terakhir, hampir 13.000 hektare mangrove juga hilang setiap tahunnya. Data lainnya dari Badan Restorasi mangrove dan Gambut (BRGM) menyebutkan ada sekitar 700.000 hektare hutan mangrove yang mengalami deforestasi. Jika kita spesifikkan, jika 13.000 hektar hilang setiap tahun maka dalam setiap bulannya ada 1083 hektar yang hilang, perharinya ada 36 hektar dan setiap jamnya ada 1.5 hektar yang dihancurkan.

Terjadinya proses ‘penghancuran’ mangrove ini dilakukan paling banyak oleh aktivitias manusia (antropogenik). Merujuk pada apa yang dikemukakan Giri dkk dalam penelitian yang berjudul status and distribution of mangrove forests of the world, bahwa konversi hutan mangrove menjadi lahan budidaya perikanan atau tambak menjadi penyebab utama degradasi hutan mangrove di Indonesia. Hal ini juga senada dengan pengalaman saya di pembuka tulisan ini, bahwa masyarakat dan pemerintah desa me’legalkan’ penghancuran mangrove demi hadirnya investasi budidaya tambak. Selain itu, ada pula Tindakan penebangan seperti yang terjadi di Kalimantan dimana masyarakat melakukan penebangan serta  pembakaran puluhan juta kilogram pohon bakau menjadi arang untuk diperjual-belikan.

Perlu Tindakan Radikal

Lantas, apa yang harus dilakukan menyikapi kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini? Di Tengah masifnya kerusakan ekosistem mangrove, berkurangnya daya serap karbon, terjadinya pemanasan global yang mengakibatkan krisis iklim perlu ada upaya radikal yang tidak sebatas anjuran formalitas belaka. Saya mengusulkan reformasi Pendidikan.

Lingkungan harus menjadi sumber utama Pendidikan. Tanah dan semua yang meliputinya harus menjadi pusat pedagogi. Pendidikan harus membawa manusia memiliki ikatan dengan alam. Spiritualitas alam  harus menjadi  bagian dari sistem pendidikan dasar kita. Hubungan dan ikatan ini yang kini sudah tidak ada sehingga kita hanya melihat alam sebagai alat belaka yang harus ditaklukkan untuk tujuan pemenuhan material semata. Hubungan seperti yang dimiliki oleh masyarakat adat dengan tanahnya. Untuk hal inilah kita perlu belajar banyak dari keterhubungan masyarakat adat dengan lingkungannya.

Ke dua, di Tingkat kebijakan dan tata kelola perlu ada upaya sistematis yang serius dan radikal dalam  upaya rehabilitasi restorasi mangrove di Indonesia. Merujuk pada data WALHI hanya sekitar 33.000 hektare mangrove yang direhabilitasi yang mana sangat jauh dari target pemerintah yaitu 600.000 hektar hingga tahun 2024.  Keengganan pemerintah juga tercermin dalam berbagai kebijakan yang tampaknya saling bertabrakan, berseberangan satu sama lain. Oleh karena itu, pemerintah perlu secara serius menyusun upaya perlindungan dan rehabilitasi dari jangka pendek-menengah dan jangka Panjang dalam upaya pemulihan dan perlindungan ekosistem mangrove.

Ke tiga, aspek teknis. Perlu dipikirkan aspek solusi pemanfaatan mangrove jangka menengah dan Panjang bagi masyarakat. Pengalaman yang saya perlihatkan di atas terjadi karena lapangan pekerjaan masyarakat pesisir yang minim dimana hasil dari nelayan yang semakin susut. Menyusutnya pendapatan nelayan juga dapat terjadi karena pertambanga.  Sehingga perlu dilihat integrasi tindakan masyarakat dan upaya solusi yang dihadirkan pemerintah dalam memberikan alternatif perekonomian bagi masyarakat yang diharapkan akan mengurangi tekanan pada pengrusakan mangrove.

Ke empat, Upaya pemulihan berbasis komunitas yang harus terintegrasi. Proses rehabilitasi mangrove tidak boleh berhenti di seremonial belaka. Ada banyak kasus dimana penanaman mangrove hanya mengikutsertakan komunitas untuk dokumentasi semata. Tidak ada upaya keberlanjutan dalam proses memantau, memonitoring pertumbuhan mangrove. Selain itu, penanaman yang dilakukan juga tidak sesuai dengan karakteristik lokasi maupun tidak mempertimbangkan faktor eksternal yang akan merusak sehingga setelah proses penanaman selesai hanya sedikit atau bahkan banyak mangrove yang tidak tumbuh. Hal ini lah yang patut menjadi pertimbangan dalam proses rehabilitasi mangrove. Masyarakat harus diorganisir dan ditransformasi kesadarannya perihal ekosistem mangrove. Rehabilitasi tidak boleh hanya memenuhi kebutuhan laporan semata atau hanya dokumentasi saja.

Upaya-upaya inilah yang diharapkan menghadirkan harapan demi mangrove yang berkelanjutan.

Selamat Hari Mangrove.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *