#AllEyesOnPapua Tagih Komitmen Pemerintah untuk Papua

Papua terkenal dengan hutan alamnya yang merupakan salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Namun, pada 27 Mei lalu, tagar #AllEyesOnPapua muncul dan menjadi viral di media sosial. Tanda pagar ini mencerminkan solidaritas dan aktivisme masyarakat terhadap tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat Papua. Pada hari yang sama, aktivis lingkungan dari Suku Awyu dan Moi berdemonstrasi di depan Gedung Mahkamah Agung, menolak proyek pembabatan 36 ribu hektar hutan di Boven Digoel oleh PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) dan penggundulan hutan adat oleh PT SAS seluas 18.160 hektare untuk diubah menjadi perkebunan sawit.

Menurut Greenpeace Indonesia, Hendrikus Woro, seorang aktivis lingkungan dari suku Awyu, menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan upaya pemulihan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas. Mereka berharap Mahkamah Agung akan mencabut izin perkebunan sawit yang diberikan kepada PT IAL. Konflik ini berlanjut dari perjuangan sebelumnya yang telah dimulai sejak penolakan gugatan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada bulan Maret, yang kemudian diikuti dengan pengajuan kasasi oleh Hendrikus Woro.

Masyarakat Adat dan Lingkungan Hidup di Ambang Krisis

Dari tahun ke tahun deforestasi atau berkurangnya hutan alam terus terjadi, dari data yang diperoleh Global Forest Watch, dari rentang waktu 2001 hingga 2023, Papua telah kehilangan 744 hektare tutupan pohon atau setara dengan penurunan 2.5% tutupan pohon, yang juga berarti setara dengan 566 Mt emisi CO2e.  Selain itu, mengacu pada policy paper milik Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) yang bekerja sama dengan Auriga Nusantara, menjelaskan bahwa sebagian besar deforestasi di Papua terindikasi terjadi dalam ranah konsesi usaha industri yang ekstratif, seperti di sektor perkebunan, sektor kehutanan dan sektor pertambangan. 

Deforestasi di Tanah Papua (Auriga, 2021)

Salah satu yang amat terdampak adalah masyarakat adat suku Awyu dan Moi, jika operasi PT IAL dan PT SAS berhasil diloloskan, maka keberadaannya akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, hingga budaya yang selama ini dianut oleh masyarakat adat Awyu dan Moi. Menurut Greenpeace, hal ini juga sangat dikhawatirkan akan memicu deforestasi yang terus menerus dan dapat melepaskan 25 juta ton CO2 ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Indonesia, bahkan di negara-negara sekitar. 

Konflik yang disebabkan perampasan hak hidup dari masyarakat adat di Papua telah lama terjadi, dari masa ke masa mereka terus berjuang mempertahankan hutan adat yang telah menjadi bagian dari keberlangsungan hidup mereka selama ribuan tahun. Semakin bebasnya operasi politik dan bisnis di Indonesia, juga berdampak pada masyarakat adat dan keberlangsungan lingkungan hidup di Papua. Industri minyak kelapa sawit memang sangatlah menguntungkan, bahkan sangat menguntungkan bagi suatu negara dan diminati oleh negara-negara lain di dunia. 

Jika permasalahan ini tak kunjung usai, maka masyarakat adat di Papua akan menghadapi krisis yang amat serius – bahkan bagi kita semua, selurus masyarakat Indonesia. Hal ini karena hutan di Tanah Papua merupakan salah satu penyumbang terbesar yang dapat membantu mengurangi efek perubahan iklim. Deforestasi ini juga menjadi bentuk kelalaian pemerintah terhadap hak asasi manusia milik masyarakat adat, dengan mudah melepaskan izin perkebunan hingga merebut hak hidup mereka.

Mempertanyakan Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak Masyarakat Adat

Strategi pemerintah Indonesia yang terus digaungkan saat ini berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan, pemerintah Indonesia terus berjanji untuk memberikan fokus mereka kepada penanganan krisis iklim dan mewujudkan Indonesia yang bebas karbon emisi. Namun, strategi pemerintah ini seakan kontradiktif dengan praktiknya, di mana komitmen mereka terhadap hutan alam dan masyarakat adat di Papua? 

Untuk memahami bagaimana skema bisnis industri perkebunan sawit dan bagaimana pemerintah juga memiliki andil dalam melancarkan deforestasi di Papua, pada tahun 2018 The Gecko Project merilis laporan investigasi berjudul ‘Kesepakatan rahasia hancurkan surga Papua’, beragam analisis mengungkapkan bagaimana para konglomerat perusahaan sawit dan kayu di Indonesia bisa menyamarkan operasinya melalui perusahaan bayangan, hal ini juga menyebabkan tak mudah menemukan pemilik asli dari perusahaan-perusahaan itu, semua keuntungannya dapat dengan mudah disalurkan hingga luar negeri. 

Presiden Joko Widodo mulai memberlakukan Perpres No 13 Tahun 2018, perpres ini mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan identitas pemilik manfaat kepada pemerintah. Meski begitu, praktik deforestasi oleh perusahaan-perusahaan industri ekstraktif tak kunjung menemui titik terangnya. Hal ini dibuktikan dengan data yang diperoleh dari Forest Watch Indonesia dalam Lembar Fakta ‘Tanah Papua’ berisis kajian mengenai deforestasi dari masa ke masa yang terjadi di Papua – menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Joko Widodo pada tahun 2014 – 2017 terjadi kehilangan hutan alam yang diikuti bertambahnya tutupan lahan dengan laju 28 ribu hektare/tahun. Ekspansi ini didominasi dari perkebunan (khususnya sawit) dan merupakan pendapatan paling tinggi. 

Selain itu, berdasarkan laporan Auriga Nusantara, deforestasi tertinggi di Tanah Papua juga terjadi pada periode Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, yang menjabat sejak periode pertama kepresidenan Joko Widodo. Demi atas nama ‘pembangunan’, lalu dibalut dengan kata ‘berkelanjutan’ demi menenangkan siapa saja yang cukup kritis terhadap dampak yang akan terjadi jika hutan di Papua habis, maka pemerintah terus mendorong ekspansi lahan demi keuntungan ekonomi – entah, jelasnya untuk siapa. Perlu digarisbawahi, jika benar komitmen berkelanjutan ini untuk masa depan Indonesia, maka hak-hak antara lingkungan hidup dan masyarakat adatnya jangan terus digerus dan dihilangkan. 

Kontributor: Alifya Ikhsanty

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *